Komunikasi IWIP 2026: Orkestrasi Narasi, Formulasi Diksi, Konstruksi Makna dan Isi
Tulisan ini merupakan pandangan pribadi penulis dan tidak mencerminkan kebijakan resmi perusahaan. Gagasan di dalamnya disusun sebagai refleksi intelektual atas praktik komunikasi korporasi, serta kemungkinan rujukan konseptual dalam perumusan arah kerja komunikasi IWIP tahun 2026.
Dari Transmisi Informasi ke Produksi Makna
Dalam kajian komunikasi modern, telah lama disepakati bahwa komunikasi tidak lagi dapat dipahami sebatas proses transmisi pesan dari pengirim ke penerima. Model linear ala Shannon dan Weaver, yang menekankan alur pesan dan gangguan (noise), dinilai tidak cukup menjelaskan kompleksitas komunikasi dalam masyarakat kontemporer: terlebih dalam konteks industri strategis yang sarat kepentingan, relasi kuasa, dan dinamika opini publik.
Para pemikir komunikasi seperti James Carey membedakan komunikasi sebagai transmission dan ritual. Dalam perspektif ritual, komunikasi adalah proses produksi dan pemeliharaan makna bersama. Sementara itu, Stuart Hall menegaskan bahwa pesan selalu melalui proses encoding dan decoding, di mana makna tidak pernah sepenuhnya dikendalikan oleh pengirim.
Berangkat dari pemahaman inilah, saya memandang komunikasi IWIP 2026 perlu diletakkan dalam satu kerangka strategis yang lebih reflektif dan sadar makna, yaitu: Orkestrasi Narasi, Formulasi Diksi, Konstruksi Makna dan Isi.
Orkestrasi Narasi: Koherensi Pesan dalam Sistem Komunikasi yang Terfragmentasi
Dalam teori strategic communication, narasi dipahami sebagai kerangka besar yang menghubungkan fakta, nilai, dan tujuan organisasi. Walter Fisher melalui Narrative Paradigm menyatakan bahwa manusia pada dasarnya adalah storytelling beings, kita memahami realitas melalui cerita yang koheren dan masuk akal.
IWIP, sebagai kawasan industri strategis, berada dalam ruang komunikasi yang terfragmentasi: pesan datang dari berbagai unit, aktor, dan kanal, dengan audiens yang beragam pula. Tanpa orkestrasi, narasi akan mudah terpecah, kehilangan koherensi, bahkan saling meniadakan.
Orkestrasi narasi, dalam pengertian ini, bukanlah kontrol absolut atas pesan, melainkan penyelarasan kerangka cerita agar setiap komunikasi, baik internal maupun eksternal, bergerak dalam satu horizon makna yang sama. Pendekatan ini sejalan dengan gagasan sensegiving dalam teori organisasi (Gioia & Chittipeddi), di mana institusi berperan membantu aktor-aktornya memahami arah dan konteks perubahan.
Formulasi Diksi: Bahasa sebagai Praktik Sosial dan Sikap Institusional
Bahasa tidak pernah netral. Dalam tradisi critical discourse analysis, tokoh seperti Norman Fairclough menekankan bahwa pilihan kata merefleksikan relasi kuasa, ideologi, dan posisi sosial tertentu. Dengan demikian, formulasi diksi bukan sekadar persoalan estetika bahasa, melainkan praktik sosial yang sarat makna.
Dalam komunikasi korporasi, terutama pada sektor dengan sensitivitas tinggi, satu kata dapat memperluas pemahaman atau justru memperuncing resistensi. Oleh karena itu, formulasi diksi perlu dilakukan secara sadar, reflektif, dan kontekstual. Bagi IWIP, formulasi diksi berarti memilih bahasa yang:
- Akurat secara faktual
- Proporsional terhadap isu
- Sensitif terhadap konteks sosial dan budaya
- Tidak menutup ruang dialog
Dengan pendekatan ini, bahasa tidak digunakan untuk menyederhanakan kompleksitas secara berlebihan, tetapi untuk menyajikannya secara dapat dipahami.
Konstruksi Makna: Antara Pesan, Konteks, dan Interpretasi Publik
Makna tidak pernah hadir secara otomatis dalam pesan. Ia dikonstruksikan melalui interaksi antara teks, konteks, dan interpretasi audiens. Perspektif ini berakar pada tradisi konstruksionisme sosial (Berger & Luckmann), yang memandang realitas sosial sebagai hasil proses pemaknaan bersama.
Dalam konteks komunikasi IWIP, konstruksi makna menjadi wilayah yang krusial. Publik tidak hanya menilai apa yang dikatakan, tetapi juga mengapa, bagaimana, dan dari posisi apa pesan itu disampaikan. Karena itu, komunikasi tidak cukup berhenti pada klarifikasi, melainkan perlu menyediakan konteks yang memungkinkan publik membangun pemahaman yang lebih utuh.
Pendekatan ini menempatkan komunikasi sebagai praktik meaning-making, bukan sekadar message delivery. Di sinilah komunikasi berfungsi sebagai jembatan antara kebijakan, operasional, dan persepsi publik.
Makna dan Isi: Fondasi Empiris Komunikasi yang Kredibel
Namun, seluruh kerangka konseptual tersebut akan kehilangan legitimasi jika tidak ditopang oleh isi yang nyata. Dalam literatur organizational communication, kredibilitas pesan sangat bergantung pada kesesuaian antara wacana dan praktik (talk and action alignment). Isi komunikasi IWIP perlu bertumpu pada:
- Praktik operasional yang terus disempurnakan
- Proses internal yang dijalankan dengan kerangka yang konsisten
- Kebijakan yang secara dinamis diupayakan agar selaras dengan pesan
Penting untuk ditegaskan bahwa keselarasan ini bukan kondisi ideal yang selalu tercapai, melainkan proses berkelanjutan. Komunikasi yang dewasa justru mengakui dinamika tersebut dan menjadikannya bagian dari narasi institusional yang jujur dan bertanggung jawab.
Penutup: Komunikasi sebagai Praktik Intelektual dan Etis
Dalam pandangan pribadi saya, komunikasi IWIP 2026 perlu diposisikan sebagai praktik yang tidak hanya strategis, tetapi juga intelektual dan etis. Orkestrasi Narasi, Formulasi Diksi, Konstruksi Makna dan Isi adalah kerangka untuk memastikan bahwa komunikasi berjalan seiring dengan realitas, berpijak pada proses, dan terbuka terhadap evaluasi.
Bukan untuk mengklaim kesempurnaan, melainkan untuk menegaskan komitmen pada pemikiran yang matang, bahasa yang bertanggung jawab, dan makna yang dibangun secara dialogis. Di tengah kompleksitas industri dan ekspektasi publik yang semakin tinggi, justru pendekatan inilah yang memungkinkan komunikasi menjadi ruang pembelajaran bersama, bukan sekadar alat pembelaan.
Catatan Akhir: Referensi Tokoh dan Kerangka Teoretis
Tulisan ini disusun dengan merujuk pada sejumlah pemikir dan kerangka teoretis dalam studi komunikasi, komunikasi organisasi, dan kajian wacana. Rujukan berikut tidak dimaksudkan sebagai daftar pustaka akademik formal, melainkan sebagai penanda arah pemikiran yang memengaruhi kerangka konseptual tulisan ini.
Catatan Penutup Referensi
- Claude E. Shannon & Warren Weaver
The Mathematical Theory of Communication
Model komunikasi linear yang menekankan proses transmisi pesan dan gangguan (noise). Model ini menjadi titik awal kritik terhadap pendekatan komunikasi yang terlalu teknis dan satu arah.
- James W. Carey
Communication as Culture
Carey membedakan komunikasi sebagai proses transmisi informasi dan komunikasi sebagai praktik ritual, yakni proses produksi dan pemeliharaan makna bersama dalam masyarakat.
- Stuart Hall
Encoding/Decoding Model
Hall menegaskan bahwa makna pesan tidak sepenuhnya ditentukan oleh pengirim, melainkan melalui proses encoding dan decoding yang dipengaruhi oleh konteks sosial, budaya, dan ideologis audiens.
- Walter R. Fisher
Narrative Paradigm
Fisher memandang manusia sebagai homo narrans, makhluk pencerita, yang memahami realitas melalui narasi yang koheren dan masuk akal, bukan semata melalui argumen rasional.
- Peter M. Senge / Karl E. Weick
Sensemaking in Organizations
Weick menekankan bahwa organisasi terus-menerus membangun makna atas realitas yang ambigu. Komunikasi berperan penting dalam membantu anggota organisasi memahami situasi dan arah tindakan.
- Gioia & Chittipeddi
Sensegiving and Sensemaking
Konsep sensegiving menjelaskan peran pimpinan dan institusi dalam membingkai makna dan arah perubahan melalui komunikasi strategis.
- Peter L. Berger & Thomas Luckmann
The Social Construction of Reality
Kerangka konstruksionisme sosial yang memandang realitas sosial sebagai hasil dari proses pemaknaan bersama, bukan sesuatu yang sepenuhnya objektif dan netral.
- Norman Fairclough
Critical Discourse Analysis
Fairclough menempatkan bahasa sebagai praktik sosial yang merefleksikan relasi kuasa, ideologi, dan struktur institusional. Pilihan diksi tidak pernah bebas nilai.
- Dennis K. Mumby
Organizational Communication
Mumby menekankan hubungan antara komunikasi, kekuasaan, dan identitas dalam organisasi, serta pentingnya koherensi antara wacana dan praktik.
- Paul Argenti
Corporate Communication
Argenti menempatkan komunikasi korporasi sebagai fungsi strategis yang terintegrasi dengan reputasi, kebijakan, dan tata kelola organisasi.
Rujukan-rujukan ini digunakan sebagai kerangka berpikir, bukan sebagai klaim otoritatif tunggal. Dalam praktik komunikasi korporasi, khususnya di konteks industri strategis seperti IWIP, teori tidak dimaksudkan untuk menggantikan realitas lapangan, melainkan membantu membaca kompleksitasnya secara lebih reflektif dan bertanggung jawab.